Kepada nona yang sibuk sendiri
Bertanya kabar sudah terlalu usang untuk berbasa-basi, aku tak ingin
menjadi klise hari ini. Setelah pitamku naik beberapa kali. Nonaku selalu
menenangkanku sesekali membalas dengan pitam yang lain. Kamu tahu emosi itu tak
perlu dipendam, ungkapkanlah. Seperti bertahun lalu semenjak kita berjalan di
tepian hujan. Menghindari air-air yang menaiki permukaan, berwaspada pada titik
air-air hujan agar tidak membasahi baju merahmu. Semestinya kita masih seperti
dulu, ada hal-hal kecil yang tampak sederhana tapi layak untuk dikenang seperti
kala hujan itu, atau kala hari lain di tengah terik yang meranggas. Kita berteduh
disana diantara pohon rimbun, menyeka keringat, memandangi pantai, menunggu
siang menua karena matahari begitu ganas di siang itu. Aku ingat waktu itu.
Kepada nona yang (sekarang) sibuk sendiri
Sudah berapa lama kita tak lagi bertegur kecuali lewat alat
komunikasi. Kita sudah beranjak dari berbagai masa yang dulu. Sekarang waktu
kita tak banyak seperti dulu, kamu sibuk, aku juga (pura-pura) sibuk. Kataku
kesibukan ini untuk masa depan kita, kata yang ku anggap sebagai sebuah
pembohongan (penenangan). Aku bosan rindu membebaniku, bagai berton pemikiran
mengaung-ngaung dikepala hampir disetiap waktu begitu teringat kamu. Jarak adalah
sebuah tantangan untuk kita, aku dan kamu sudah mengakrabi ini sejak 3 tahun
lalu dan masih terus mengutuk jarak. Berusaha mengabaikan rindu dan hasrat
untuk bertemu, berusaha melipatnya untuk kemudian bersama.
Kepada nona yang (seakan) sibuk sendiri
Nonaku aku tahu kamu sibuk dengan tagihan-tagihanmu, aku tahu. Sama tahunya
kamu dengan sibuknya aku menghadapi timbunan kerjaan kantor seorang buruh. Dulu
aku selalu berkata padamu bahwa aku tidak mau diperbudak oleh orang lain,
sebaliknya aku ingin diperbudak prinsipku sendiri. Tapi memang resolusi tak selalu
sesuai dengan kenyataan, rupiah belum mengijinkanku untuk itu, mungkin nanti
aku bisa seperti harapanku, iya nanti. Aku sibuk merindukanmu di sela kerjaku,
kamu sibuk dengan kuliahmu dan tugas akhirmu sambil sesekali sesempatnya
mengirimi pesan singkat padaku.
Kepada nona yang (seringnya) sibuk sendiri
Kapan kita ada waktu lagi untuk bercanda tanpa pretensi apapun, bicara
tak terlalu muluk-muluk. Bicara tak pandang hirarki dan batas antara kini dan
nanti. Inikah konsekuensi dewasa dan tambah usia sebagai seorang manusia. Banyak
yang terbuang yang seharusnya dapat termanfaatkan lebih baik. Tidak perlulah
menyimpan dendam yang sekeras batu seperti hari lalu, hanya mengotori hati. Kau
tahu buat apa aku mencari perempuan lain jika apa yang aku cari dari perempuan
sudah aku temukan dalam dirimu. Nonaku aku harap banyak waktu nanti untuk kita
bertemu.